Lokop merupakan bagian dari kabupaten Aceh Tengah pada masa tahun 1970-an, kemudian sebagai akibat jauhnya jarak dan rentang kendali pemerintahan kabupaten Aceh Tengah dengan masyarakat Gayo Lokop maka akhirnya pemerintah kabupaten Aceh Tengah ”menyerahkan” wilayah Gayo Lokop kepada pemerintah Kabupaten Aceh Timur dengan alasan agar lebih memudahkan masyarakat Gayo Lokop mengurus berbagai macam keperluan administrasi seperti KTP, KK, Sertifikat Tanah, dan sebagainya. Penyerahan sebagian wilayah ”kedaulatan” Aceh Tengah kepada Aceh Timur pada waktu itu dikecam oleh beberapa tokoh masyarakat, pemuka adat, tokoh budaya dan ulama Aceh Tengah, jika memang yang dipersoalkan adalah jauhnya jarak antara Serbejadi Lokop dengan Takengon sehingga mempersulit masyarakat Gayo Lokop mengurus kepentingan hukumnya terkait dengan urusan-urusan administratif, mengapa Bupati Aceh Tengah pada saat itu tidak membentuk Pembantu Bupati Aceh Tengah wilayah Serbejadi Lokop saja? Mengapa sebagian wilayah ”kedaulatan bangsa Gayo” diserahkan begitu saja kepada Aceh Timur?, pertanyaan-pertanyaan itu terus menyelimuti hati dan pikiran para tokoh-tokoh masyarakat Aceh Tengah pada saat itu tetapi pertanyaan-pertanyaan itu hanya berada di dalam hati dan pikiran para tokoh-tokoh masyarakat itu saja tanpa adanya upaya yang intensif dan sistematis untuk menyelamatkan ”kedaulatan” Tanoh Gayo.
Kalaulah seandainya dulu Bupati Aceh Tengah mau membentuk Pembantu Bupati Wilayah Serbejadi Lokop maka sudah dapat diprediksi jalan menuju terbentuknya Kabupaten Gayo Lokop semakin terbuka lebar seiring dengan semangat otonomi daerah yang terus bergulir.tetapi karena telah diserahkannya Serbejadi Lokop kepada Aceh Timur maka harapan untuk membentuk Kabupaten Gayo Lokop sampai hari ini masih jauh dari kenyataan bahkan menjadi semakin gelap dan suram karena pemerintah Aceh Timur ”tidak mau merestui” berdirinya kabupaten Gayo Lokop dengan alasan akan mempercepat pembangunan di wilayah Serbejadi Lokop dan Simpang Jernih. Penolakan Bupati Aceh Timur terhadap pembentukan kabupaten Gayo Lokop dirasakan sangat wajar karena dengan berpisahnya Serbejadi Lokop dan Simpang Jernih dari Aceh Timur maka akan semakin memperkecil wilayah kekuasaan Bupati Aceh Timur. Ditambah lagi dengan sedikitnya wakil rakyat dari Daerah Serbejadi Lokop, dan Simpang Jernih yang mewakili dan menyuarakan kepentingan masyarakat Gayo Lokop di DPRK Aceh Timur. Padahal untuk membentuk sebuah kabupaten baru diperlukan dukungan dari DPRK dan Rekomendasi dari Bupati untuk memperlancar proses pembentukan kabupaten Gayo Lokop.

Ketidakadilan dan diskriminasi pembangunan yang telah dipertontonkan oleh para pejabat Aceh Timur selama puluhan tahun sangat bertolak belakang dengan ketulusan hati dan kemurnian putra-putri terbaik Gayo Lokop seperti Inen Mayak Teri yang telah rela ”mewakafkan” dirinya dalam melawan pasukan marsose Belanda demi mempertahankan tanah airnya dari para penjajah Belanda. Ketika penjajah Belanda telah angkat kaki dari Bumi Gayo Lokop kemudian masuk lagi ”penjajah” baru dengan modus operandi baru, metode baru, taktik baru, strategi baru, orang-orang yang baru tetapi tetap dengan tujuan yang sama yaitu ”menjajah” dan ”mengeksploitasi”. Kalaulah seandainya Inen Mayak Teri masih hidup sampai hari ini maka pastilah ia akan menangis dan batinnya terasa sangat pedih seperti diiris oleh sembilu, melihat kondisi keturunannya, bangsanya, masyarakat adatnya masih berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan tanpa adanya perhatian dari para pejabat-pejabat terkait. Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’anul karim, yang artinya sebgai berikut; ”Allah SWT tidak akan merubah nasib sesuatu kaum jika kaum itu tidak mau merubah nasibnya sendiri”, makna dari ayat ini yang dapat diambil adalah kalaulah kaum Gayo di Serbejadi Lokop tidak mau berusaha sendiri, dan dengan kekuatan sendiri untuk merubah nasibnya maka niscaya Allah SWT juga tidak akan pernah mau merubah nasib kaum Gayo Lokop. Dan salah satu konsepsi untuk merubah nasib kaum Gayo Lokop adalah dengan terwujudnya Kabupaten Gayo Lokop yang terpisah dari Aceh Timur sehingga kaum Gayo Lokop bisa mengatur rumah tangganya sendiri, dan memerintah masyarakatnya sendiri sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya.
Infrastruktur jalan sebagai urat nadi pergerakan masyarakat untuk menjual hasil kebunnya ke pasar kondisinya sudah sangat parah tanpa adanya kepastikan kapan akan diperbaiki. Sudah 5 (lima) tahun MoU Helsinki berjalan, 4 (empat) tahun UUPA diterbitkan oleh pemerintah pusat, dan menjelang 5 (lima) tahun berkuasanya calon independen pilihan rakyat berkuasa di Aceh tapi kondisi masyarakat Gayo Lokop masih sama seperti yang dulu tanpa adanya perubahan yang drastis. Walaupun sudah triliunan uang APBA dan Dana otonomis khusus dikucurkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh tapi kondisi masyarakat Gayo Lokop masih saja memprihatinkan dan jauh dari kesan modernisasi. Perlu dilakukan upaya luar biasa untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Gayo Lokop sehingga tingkat pendidikan, kesejahteraan dan kemapanan hidupnya bisa sejajar dengan kelompok masyarakat lainnya.
Pembangunan sektor pertanian, perkebunana, peternakan dan perikanan air tawar merupakan sektor andalan masyarakat Gayo Lokp yang harus diperhatikan dengan memberikan bantuan dana pemberdayaan ekonomi, pinjaman kredit berbuga rendah, penyediaan alat-alat pertanian yang modern, penyediaan sumber-sumber bibit unggul, pembukaan akses pemasaran dan peningkatan kemampuan dan pemahaman petani, peternak dan pekebun dalam mengelola lahan, memproduksi, dan memanen hasil pertaniannya. Masyarakat Gayo Lokop yang selama ini hanya dijadikan objek pembangunan dan objek ”eksploitasi” harus dirubah menjadi subjek pembangunan dan diberikan ruang-gerak melaksanakan proses pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakatnya sesuai dengan karaktreristik budaya Gayo yang dimilikinya.